PusakaDunia - Kerajaan Bali. Nama Bali ternyata telah dikenal pada masa kekuasaan Dinasti Tang di Cina. Mereka menyebut Bali dengan Po-li atau Dwa-pa-tan, yakni sebuah. Kontak Kami 081222886456 081222886456 085293988885 085293988885 0281222886456 pusakadunia @pusakadunia [email protected] Halo, Guest! Masuk; Daftar; MENU. Home; Semua Produk
PuraBesakih adalah sebuah komplek pura yang terletak lereng Gunung Agung yaitu Gunung tertinggi di Bali, tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih dan 18 Pura pendamping yaitu 1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya.
Berdasarkankitab Usana Bali, putusnya Pulau Jawa dan Bali, disebabkan oleh kesaktian Pandita bernama Mpu Sidhimantra. Pandita yang tinggal di Jawa Timur, ini, bersahabat karib dengan seekor ular besar bernama Naga Basukih. Naga itu, berliang di Desa Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung. Di sana terdapat sebuah goa besar yang sangat suci.
UsanaBali; Usana Bali; Staatsblad Van Nederlandsch Indie I Th. 1895 - Part 24 - 39 Staatblad Th. 1882, Bag 1 - 23 [sumber elektronik] Soera Nirom Th. 1939 - 1940 No. 1 - 26 [sumber elektronik] Soeara PTT Th. 1931-1932, Bag 1 - 13 [sumber elektronik] Sinpo Th. 1928 - No. 291 - 313 [sumber elektronik] Reizen Vol 1 - 79 [sumber elektronik]
KitabSutasoma ini berisi tentang kisah perjalanan Sutasoma, anak raja yang memilih keluar dari kerajaan untuk belajar menjadi pendeta Buddha. Dalam kitab ini juga, asal dari semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrawa". Kitab Usana Jawa berkisah mengenai penaklukan Bali yang
kertagama:mpu prapanca 2.kitab sutasoma:mpu tantular 3.kitab pararaton:riwayat raja-raja singhasari,majapahit 4.kitab sundayana:peristiwa bubat 5.kitab ranggalawe,pemberontakan ranggalawa 6.kitab sorandoka:pemberontakan sora 7.kitab usana jawa:penakhlukan bali oleh gajahmada dan arya dama
DiBali jarang ditemukan candi sebab masyarakatnya tidak mengenal Kultus Raja. Usana Bali. 7. Cerita Parahiyangan. 8. Bubhuksah dan Gagang Aking. g. Kesusastraan Kitab Brahmana, berisi ajaran tentang hal-hal sesaji. 2. Kitab Upanishad, berisi ajaran ketuhanan dan makna hidup.
fQEOt. Kitab Suci dan Maha Resi Kitab Suci Kitab suci agama Hindu disebut Weda. Adapun kata Weda ini berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "Wid" berkembang menjadi kata WEDA atau WIDYA yang berarti pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda mengandung pengertian himpunan ilmu pengetahuan suci yang bersumber dari Sang Hyang Widhi Wasa diterima atau didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan samadhi. Oleh karena itu disebut juga Sruti yang berarti Sabda suci yang didengar wahyu. Jadi Weda merupakan himpunan wahyu- wahyu Tuhan. Weda Sruti Weda Sruti yaitu Weda dalam bentuk himpunan wahyu Sruti, disebut juga Weda Samhita terdiri dari No. Nama Dihimpun oleh Kelompok 1 Rig Weda Maha Resi Pulaha Catur Weda 2 Yajur Weda Maha Resi Waisampayana 3 Sama Weda Maha Resi Jaimini. 4 Atharwa Weda Maha Resi Sumantu. 5 Bhagavad-Gita Maha Resi Byasa. Pancamo Weda. Weda Smrti Weda Smrti yaitu tafsir dari Weda Sruti, disusun dengan maksud mempermudah mempelajarinya, terdiri dari dua kelompok yaitu No. Kitab Isinya Kelompok 1 Siksa ilmu tentang phonetics Wedangga 2 Wyakarana ilmu tata bahasa 3 Chanda pengetahuan tentang lagu 4 Nirukta pengetahuan tentang sinonim dan akronim 5 Jyotisa ilmu astronomi 6 Kalpa tentang ritual 1 Itihasa ceritera- ceritera kepahlawanan epos terdiri dari Mahabarata dan Ramayana Upaweda 2 Purana himpunan ceritera- ceritera mirip sejarah tentang peristiwa- peristiwa tertentu dan tentang tradisi. 3 Arthasastra pengetahuan tentang pemerintahan. 4 Ayurweda ilmu obat- obatan. 5 Gandarwa Weda ilmu tentang seni 6 Sarasamuçcaya dan Slokantara tentang etika dan tata susila. Resi / Maha Resi Resi adalah orang yang atas usahanya melakukan tapa brata yoga samadhi, memiliki kesucian, terpilih oleh Tuhan, dapat menghubungkan diri dengan Tuhan, sehingga dengan kuasa- Nya dapat melihat hal yang sudah lampau, sekarang, dan yang akan datang, serta dapat menerima wahyu Sruti. Istilah Resi sebenarnya tidak sama artinya dengan Pendeta, namun kadang- kadang diartikan sama, seperti terdapat di beberapa daerah. Untuk membedakan pengertian Resi sebagai Pendeta dan Resi sebagai Nabi, maka dipakailah istilah Maha Resi untuk menyatakan Resi sebagai Nabi. Swayambhu Bharadwaja Wrhaspati Krtyaya Sandhyaya Agastya Wasistha Tridhatu Gotama Wajrasrawa Grtsamada Kanwa Trinawindhu Aryadatta Dharma Wiswamitra Narayana Usana Somayana Parasara Warmadewa Prajapati Tryaguna Rutsa Byasa Atri Hiranyagarbha Dhananjaya Sakri Maha Resi Byasa beserta murid- muridnya terkenal karena karyanya membukukan kodifikasi kitab- kitab Weda, sehingga terhimpunlah kitab Catur Weda. Avatara Awatara adalah perwujudan Sang Hyang Widhi turun ke dunia untuk karya penyelamatan terutama pada saat dharma mengalami tantangan dan saat- saat adharma mulai merajalela. Bedanya dengan Maha Resi ialah bahwa Awatara itu adalah perwujudan Hyang Widhi yang turun ke dunia, sedangkan Maha Resi adalah manusia terpilih karena dapat meningkatkan jiwanya ke kesempurnaan sehingga dapat menerima wahyu. Dalam Wisnu Purana dikenal sepuluh perwujudan Sang Hyang Widhi Wasa dalam penyelamatan dunia ialah Awatara Adalah Sanghyang Widhi Wasa turun ke bumi berwujud 1 Matsya Awatara Ikan yang maha besar 2 Kurma Awatara Kura-kura penyu raksasa 3 Waraha Awatara Badak Agung 4 Narasingha Awatara manusia berkepala Singa, membunuh Raja Hirania Kasipu sebagai tokoh Adharma saat itu. 5 Wamana Awatara Orang Kerdil yang membunuh Raja Bali sebagai tokoh Adharma. 6 Rama Parasu Awatara Pandita yang selalu membawa kampak, memberi kesadaran kepada para kesatria untuk mengendalikan Dharma atau kepemimpinan dengan sebaik- baiknya. 7 Rama Awatara putra Prabu Dasarata, guna membela dharma melawan adharma yang dipimpin oleh Rawana yang pasukannya terbasmi. 8 Krisna Awatara sebagai putra Prabu Wasudewa dengan Dewi Dewaki menghancurkan Raja Kangsa dan Jarasanda golongan adharma pada saat itu. 9 Budha Awatara sebagai putra Prabu Sudodana dengan Dewi Maya bertugas menyadarkan umat manusia, agar bebas dari penderitaan melalui jalan tengah di antara delapan cakram putaran hidup. 10 Kalki Awatara. penunggang kuda putih dengan membawa pedang terhunus dan akan membasmi makhluk yang adharma. Awatara ini adalah yang ke-10, Menurut keyakinan kita beliau akan datang nanti bila adharma sudah betul- betul merajalela.
- Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya ini berkuasa selama lebih dari dua abad, tepatnya sejak 1293 hingga sekitar awal abad ke-16. Bukti adanya Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari beberapa peninggalannya yang masih eksis hingga satu peninggalan Kerajaan Majapahit berupa karya sastra. Perkembangan seni sastra pada masa Kerajaan Majapahit memang sangat pesat, karena didukung oleh perhatian raja-rajanya terhadap kehidupan kebudayaan kerajaan. Salah satu kitab peninggalan Kerajaan Majapahit yang terkenal dan bermutu tinggi adalah Kitab Negarakertagama. Beberapa karya sastra yang ditulis pada masa Zaman Majapahit antara lain, sebagai berikut. Baca juga Kerajaan Majapahit Sejarah, Raja-raja, Keruntuhan, dan Peninggalan Kitab Negarakertagama Kitab Negarakertagama dikarang oleh Mpu Prapanca, yang kemudian menjadi salah satu sumber sejarah terpenting bagi Kerajaan Majapahit. Kitab ini dikarang pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, tepatnya pada 1365 Masehi. Naskah dari Kitab Negarakertagama terdiri dari 98 pupuh puisi atau syair. Isi Kitab Negarakertagama menguraikan kisah keagungan Prabu Hayam Wuruk dan puncak kejayaan Kerajaan Majapahit. Selain itu, kitab ini menceritakan asal-usul, hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, dan kebudayaan Kerajaan Majapahit. Baca juga Kitab Negarakertagama Sejarah, Isi, dan Maknanya Kitab Sutasoma Kitab Sutasoma ditulis oleh Mpu Tantular juga pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Kitab Sutasoma bercerita mengenai Pangeran Sutasoma. Di dalamnya juga mengajarkan toleransi beragama, khususnya antara Hindu dan Buddha. Di dalam kitab ini, terdapat istilah "Bhinneka Tunggal Ika" yang menjadi sumber inspirasi dirumuskannya semboyan negara NKRI. Selain itu, pada salah satu kitab yang ditulis pada zaman Majapahit ini terdapat istilah Pancasila, yang kemudian menjadi nama dasar negara Indonesia. Baca juga Kitab Sutasoma Pengarang, Isi, dan Bhinneka Tunggal Ika Kitab Pararaton Kitab Pararaton berisi tentang riwayat raja-raja Kerajaan Singasari dan Majapahit. Namun, sampai sekarang, sosok yang menulis karya sastra peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit ini masih menjadi misteri. Mengingat tarikh tertua yang terdapat pada naskahnya adalah 1522 Saka 1600 Masehi, diduga Pararaton ditulis antara 1481-1600 Masehi. kompasiana Kitab Pararaton terdiri dari baris yang tertuang dalam 32 halaman seukuran folio. Isi Kitab Pararaton dapat dibagi ke dalam dua bagian, di mana bagian pertama menceritakan tentang riwayat Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari, dan para raja penerusnya. Sedangkan bagian kedua mengisahkan tentang kehidupan Kerajaan Majapahit, mulai dari riwayat pendirinya, Raden Wijaya, hingga daftar raja-raja yang berkuasa dan pemberontakan yang berlangsung pada awal berdirinya dijadikan salah satu sumber sejarah utama Kerajaan Singasari dan Majapahit, beberapa sejarawan meragukan keabsahannya karena sebagian besar isi kitab ini adalah mitos. Baca juga Kitab Pararaton Isi dan Kritik dari Para Ahli Kitab Arjunawijaya Kitab Arjunawijaya adalah salah satu hasil karya sastra di zaman Majapahit yang digubah oleh Mpu Tantular. Karya sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno ini dibuat pada masa pemerintahan Hayam Wuruk. Picasa Lukisan yang menggambarkan pertempuran antara Arjuna Sasrabahu dengan Kitab Arjunawijaya mengisahkan tentang peperangan antara Raja Arjuna Sasrabahu dan Patih Sumantri melawan Rahwana. Ceritanya didasarkan pada Uttara Kanda, bagian terakhir dari Kitab Ramayana. Sejak zaman dulu, cerita Kitab Arjunawijaya sangat populer dan kerap dipertunjukkan dalam pergelaran wayang. Baca juga Kitab Arjunawijaya Pengarang, Isi, dan Kisahnya Kitab Tantu Pagelaran Kitab Tantu Pagelaran menceritakan tentang asal mula Pulau Jawa. Dalam kitab ini diceritakan pemindahan Gunung Mahameru dari India ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Gunung Mahameru, yang sekarang dikenal sebagai Gunung Semeru, dianggap sebagai paku yang membuat Pulau Jawa senantiasa kokoh. Kitab Panjiwijayakrama Kitab Panjiwijayakrama menceritakan riwayat Raden Wijaya hingga akhirnya menjadi Raja Majapahit. Selain itu, kitab yang ditulis dalam bentuk kidung ini juga berisi kisah pemberontakan Ranggalawe yang terjadi pada awal berdirinya Majapahit. Baca juga Pemberontakan Nambi, Gugurnya Patih Pertama Kerajaan Majapahit Kitab Ranggalawe Kisah pemberontakan Ranggalawe juga diceritakan dalam Kitab Ranggalawe. Ranggalawe adalah salah satu sahabat setia Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang turut berjasa dalam membangun kerajaan. Namun, Ranggalawe akhirnya memberontak pada 1295 akibat hasutan seorang pejabat licik bernama Mahapati. Kitab Usana Jawa Kitab ini mengisahkan penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, sebagai salah satu wilayah bawaham Majapahit. Dalam penaklukkannya, Gajah Mada ditemani oleh Aryadamar. Baca juga Pemberontakan Ranggalawe Penyebab dan Kronologinya Kitab Sorandakan Kitab Sorandakan mengisahkan tentang pemberontakan Lembu Sora yang terjadi tidak lama setelah pemberontakan Ranggalawe. Lembu Sora juga merupakan salah satu sahabat Raden Wijaya yang memberontak akibat hasutan Mahapati. Kitab Sundayana Kitab Sundayana menceritakan tentang Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dengan keluarga Kerajaan Sunda. Peristiwa itu menjadi tanda kemerosotan Mahapatih Gajah Mada dan mengakibatkan hubungan Majapahit dengan Sunda menjadi rusak. Referensi Isnaini, Danik. 2019. Kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Singkawang Maraga Borneo Tarigas. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Psychoactive plants have played an important role in medicine, religion, ritual life, and recreation since ancient times. In shamanic religions, which appear to have dominated throughout much of human pre-history, trance induced by psychoactive plants and other techniques permits direct contact with the divine. For this reason, plant hallucinogens and other psychoactive botanicals have been considered by cultures throughout history as "plants of the gods" sacred substances that bring knowledge, power, healing, and mystical insight, but that must be used with utmost respect and caution. With the spread of Christianity, and especially since the Inquisition and Conquest of the New World, the religious use of psychoactive plants has been severely and sometimes violently suppressed. Western scientific and popular interest in psychoactive plants enjoyed a resurgence in the mid-twentieth century, though the excesses of the 1960s "psychedelic era" provoked a backlash, exacerbating existing biases within the scientific, medical, and law-enforcement establishments. Psychoactive compounds produce their peculiar effects on consciousness by mimicking the chemical structures of neurotransmitters or otherwise altering the transmission of nerve impulses. Over the past two hundred years, chemical and physiological studies of natural psychoactive compounds and their synthetic derivatives have resulted in major contributions to medicine and neuroscience. This chapter presents an overview of twenty-two important psychoactive plants used in religious or ritual settings throughout the world, with supplementary information on ten additional species. The cultural and historical background for each plant is presented alongside pertinent botanical, chemical, and pharmacological information. An appendix provides a summary of the names, traditional and biomedical uses, and active components of plants discussed in the text. A general introduction and concluding discussion help set the topic of psychoactive plant use within the intertwined historical, social, philosophical, scientific, and contemporary legal contexts.
ArticlePDF Available AbstractHindu theology from the beginning was different from classical theology. Where religion or divinity does not conflict with science. God is not placed in the sky but exists and permeates His creation. Such a conception of God would be difficult to understand in Western theology. In the text of Usana Bali, concrete and solution-based theology or divinity is implied, which is narrated through the mythology of Tirta Empul and the story of Mayadanawa. Where God in his manifestation as Dewa Indra becomes a liberating agent for the social problems of society. Eradicating the evil king Mayadanawa, providing prosperity through abundant water sources, and giving meaning to the Galungan holiday as an effort to improve the quality of life winning the inner dharma. This research is a literature study, using the Usana Bali text as primary data. The purpose of this research is to explore theological teachings in a mythology, in order to develop the role and social values in Mythology, Social Theology, Usana Bali Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 8 MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI KAJIAN TEOLOGI SOSIAL I Gede Arya Juni Arta Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya E-mail aryaskeptisisme ABSTRACT Hindu theology from the beginning was different from classical theology. Where religion or divinity does not conflict with science. God is not placed in the sky but exists and permeates His creation. Such a conception of God would be difficult to understand in Western theology. In the text of Usana Bali, concrete and solution-based theology or divinity is implied, which is narrated through the mythology of Tirta Empul and the story of Mayadanawa. Where God in his manifestation as Dewa Indra becomes a liberating agent for the social problems of society. Eradicating the evil king Mayadanawa, providing prosperity through abundant water sources, and giving meaning to the Galungan holiday as an effort to improve the quality of life winning the inner dharma. This research is a literature study, using the Usana Bali text as primary data. The purpose of this research is to explore theological teachings in a mythology, in order to develop the role and social values in it. Keywords Mythology, Social Theology, Usana Bali I. PENDAHULUAN Mitologi Tirta Empul dan Mayadanawa oleh masyarakat sering dianggap sebagai mitos atau kepercayaan yang berhubungan dengan kejadian masa lalu. Pemahaman tersebut menjadikan kepercayaan tersebut hanya berhenti pada sebatas kepercayaan yang diturunkan dari generasi kegenerasi melalui sebuah cerita. Padahal dalam mitologi Mayadanawa dan Tirta Empul, yang termuat dalam lontar Usana Bali, terkandung berbagai nilai-nilai adiluhung yang terselip di dalamnya. Nilai-nilai tersebut hendaknya dapat digali dan dieksplorasi sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat tersingkap dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini, lontar Usana Bali secara eksplisit menyiratkan aspek Teologi Sosial di dalam cerita mitologi tersebut. Donder 2009167-168 menguraikan bahwa Teologi Sosial merupakan kritik sosial atau telaah kritis terhadap persoalan agama atas kemanusiaan. Di mana Teologi Sosial sebagai sebuah ilmu berupaya mencari solusi dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia, dengan mengangkat nilai-nilai ketuhanan untuk memberikan jiwa atau spirit. Dalam hal ini, konsep, ide dan inspirasi teologis ketuhanan diharapkan memberikan inspirasi suci, luhur dan mulia yang memberikan manfaat lebih besar bagi kehidupan manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan, untuk mengungkap nilai-nilai dan ajaran Teologi Sosial yang termuat dalam lontar Usana Bali, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan kajian teks atau kepustakaan yang sumber datanya secara primer berasal dari teks lontar Usana Bali dan didukung oleh teks-teks lainnya yang bersumber dari kitab suci Veda. Penelitian ini memiliki perbedaan MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 9 dari penelitian lainnya, terutama dari sudut pandang kajian yang dilakukan yakni dari aspek Teologi Sosial yang terdapat dalam mitologi Tirta Empul. II. PEMBAHASAN Sinopsis Lontar Usana Bali Lontar Usana Bali merupakan salah satu jenis lontar yang tergolong sebagai babad. Lontar Usana Bali mempergunakan bahasa Jawa Kuna, dan berhuruf Bali aksara Bali. Lontar ini ditulis oleh Puri Belayu Marga Tabanan, seperti yang tersurat pada salah satu bagiannya yang berbunyi âIti Usana Bali druwe ring Puri Balayu puput sinurat ring diva, Ra, Pa, wara Ugu, sukla paksa ping 9, titi sasih jyesta, rah 0, tenâ. Lontar yang berjumlah 40 lembar ini, kini tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, dengan nomor/kode Va. 5090. Lontar Usana Bali secara umum menceritakan tentang pertempuran raja Mayadanawa dengan Bhatara Indra dan pasukannya sebagai simbolisasi dharma melawan adharma, dan di dalam cerita tersebut tergambarkan tentang asal mula terciptanya Tirta Empul. Ada pun ulasan pokoknya adalah sebagai berikut. Dikisahkan pada awalnya para bhatara Dewata Nawa Sanga turun ke bumi dan berstana di parhyangan-parhyangan untuk menjaga keseimbangan dunia. Di mana bhatara secara etimologi berasal dari kata Sanskerta bhatr yang berarti pelindung. Dalam hal ini, Mpu Sangkulputih ditugaskan untuk menyelenggarakan pemujaan di parhyangan sehingga tercipta suatu keseimbangan dunia. Bhatara Pasupati yang datang dari Gunung Mahameru kemudian memberikan sabda, ketika Mpu Sangkulputih sedang melakukan pemujaan. Diceriterakan Sang Putranjaya datang ke Bali atas perintah dari Bhatara Pasupati demi menjaga pulau Bali sebagai tempat para Dewa. Perjalanan beliau diiringi oleh Bujangga dari Ampel Gading. Mpu Sangkulputih telah tiba di Besakih pada sasih Kartika, dan ditempat tersebut beliau kemudian mendirikan pertapaan sebagai tempat untuk menghubungkan diri dengan para bhatara. Di Bali pada waktu itu diperintah oleh Sang Ratu Jayapangus, dan beliau memerintah dengan baik serta selalu memperhatikan parhyangan-parhyangan di Bali. Kondisi ini kemudian berubah drastis semenjak beliau digantikan oleh putranya yang bernama Sang Mayadanawa. Di mana pada saat pemerintahan Sang Mayadanawa parhyangan-parhyangan tidak lagi dihiraukan. Sang Mayadanawa bahkan melarang rakyatnya untuk sembahyang di parhyangan-parhyangan tersebut. Dikisahkan pemerintahan kerajaan Bedahulu di bawah Sang Mayadanawa memiliki wilayah yang sangat luas hingga wilayah Sasak, Bugis, Sunantara, Madura, dan Blangbangan. Dengan kesaktian yang dimilikinya Sang Mayadanawa bersikap angkuh, sombong dan bahkan mengaku dirinya sebagai dewa Tuhan. Menyaksikan hal tersebut, para bhatara di Besakih menjadi sedih sehingga Mpu Sangkulputih bersama Bhatara Mahadewa dan Dewi Danuh menghadap kepada Bhatara Pasupati di Gunung Mahameru. Dengan demikian, Bhatara Mahadewa bersama Bhatara Indra memberikan senjata untuk membinasakan Sang Mayadanawa, kemudian para bhatara, dewa dan danawa turun ke Bumi dari Keindraan untuk menandingi Sang Mayadanawa yang angkuh itu. Pasukan Mayadanawa dipimpin oleh Sang Yaksa, Sena Yaksa, Sena Kala Dharma Wilsila dan Patih Sura Punggung, kesemuanya adalah patih Mayadanawa yang sakti-sakti. Peperangan sengit terjadi diantara kedua belah pihak. Pasukan Sang Mayadanawa banyak berguguran, dan Sang MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 10 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 Mayadanawa bersembunyi setelah patihnya banyak yang gugur. Pasukan Bhatara Indra dengan komandan perangnya Rajawong dan Sena Raja Brahma terus mengamuk, namun Sang Mayadanawa sangatlah sakti, sehingga tidak dapat dibunuh dengan senjata dan setiap darahnya menetes ke bumi Sang Mayadanawa hidup kembali. Dikisahkan pula dengan suatu daya upaya dari Sang Kalawong, telah menciptakan sungai yang airnya beracun, di mana orang yang minum air sungai tersebut akan meninggal. Dalam situasi ini, banyak pasukan Bhatara Indra yang mati karena minum air beracun tersebut. Menyikapi hal tersebut, Bhatara Indra lalu menciptakan obat untuk menetralisir racun itu. Air sungai yang beracun itu kemudian dipastu disucikan oleh Bhatara Indra sehingga menjadi obat. Sungai tersebut kemudian disebut sebagai toya empul Tirta Empul. Pasukan Bhatara Indra yang meninggal itu kemudian dapat dihidupkan kembali dan penyerangan pun dilanjutkan. Sang Kalawong terus dikejar oleh bala tentara para dewa, dan akhirnya Kalawong dapat dipenggal lehernya hingga mati. Pada akhirnya Sang Mayadanawa pun dapat dibunuh dan darahnya mengalir menjadi sungai yang diberi nama toya Patanu. Air sungai yang telah dialiri oleh darah Sang Mayadanawa kemudian dikutuk oleh Bhatara Indra bahwa apabila ada orang yang minum atau mandi di sungai tersebut niscaya akan kena sakit kulit yang tidak bisa diobati. Persawahan yang diairi oleh aliran air sungai tersebut hasil padinya akan berbau busuk bagaikan bau bangkai dan tidak bisa dimakan. Dikisahkan kemudian, setelah Sang Mayadanawa meninggal, pasukan Bhatara Indra dijamu oleh Mpu Sangkulputih di Besakih dan setelah itu Ida Bhatara moksa. Mpu Sangkulputih amat senang hatinya. Beliau juga mencapai moksa seperti Ida Bhatara. Setelahnya pemerintahan dipegang oleh Sri Aji Jayakasunu, dan atas petunjuk dari Bhatara Mahadewa maka setiap hari Raya Galungan yang jatuh pada hari Budha Kliwon Dunggulan hari rabu Kliwon, wuku Dunggulan dibuatkan sesajen selengkapnya yang dihaturkan kepada para bhatara di parhyangan. Aspek Teologi Sosial dalam Teks Usana Bali Tuhan sebagai Praksis Sosial yang Membebaskan Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar Tuhan. Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya tidak lagi dipahami semata-mata sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam wacana teologi klasik Gereja ortodoks, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat teosentris, yang secara etimologis merujuk pada akar kata theos dan logos. Dengan pemusatan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan, sudah barang tentu teologi semacam itu hanya relevan sebagai alas struktur dari religiusitas yang âmembelaâ Tuhan, bukan manusia. Tubaka 2017116 menyatakan bahwa di abad pertengahan teologi disebut the queen of sciences. Hal ini merupakan pola dominasi yang mematikan ruang bagi pemikiran lainnya. Dalam konteks kesejarahan, teologi akhirnya tidak mampu menjawab semua permasalahan manusia yang semakin kompleks. Dengan demikian, teologi membutuhkan disiplin ilmu lainnya. Berdasarkan hal tersebut lahir teologi transformatif yang bersifat egaliter. Gagasan ini menjadi hal baru dikalangan gereja, namun tidak demikian dalam agama Hindu. Teologi Hindu Brahmawidya sejak awal sudah berbeda dengan teologi klasik Gereja ortodok, yang menempatkan Tuhan di atas langit, duduk nyaman disinggasananya. Tuhan seperti ini akan mengalami MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 11 keterasingan, karena terdapat kesenjangan antara Tuhan dengan umatnya. Hal yang sangat kontras diajarkan dalam teologi Hindu, di mana Tuhan berperan langsung sebagai agen perubahan sosial di masyarakat agama dan sains tidak pernah bertentangan serta saling menegasikan dalam Hindu. Hal ini disebutkan dalam BhagavadgĂŽtâ yadâ yadâ hi dharmasya glânir bhavati bhârata, abhyutthânam adharmasya tadâtmânaA s[jâmy aham. Terjemahan âmanakala dharma hendak sirna dan adharma hendak merajalela, saat itu wahai keturunan Bharata, Aku sendiri turun menjelmaâ Pendit, 198894. Bunyi sloka tersebut memiliki relevansi dengan penggambaran Tuhan dalam teks Usana Bali. Bhatara Indra turun dari Indraloka untuk membantu umat manusia warga Bali pada khususnya dari kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh raja Mayadanawa. Dalam konteks ini Tuhan Bhatara Indra dikatagorikan sebagai sebuah praksis sosial yang membebaskan masyarakat dari keangkaramurkaan adharma. Guiterrez dalam Natalie 2000183 menguraikan bahwa praksis menyatakan bahwa kebenaran ada di dalam tindakan yang nyata, sehingga ajaran agama teologi akan langsung menyentuh pada kepentingan sosial- masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Rakhman 2013174 bahwa teologi sosial merupakan diskursus pemikiran teologis yang berkaitan dengan realitas kehidupan manusia yang bersifat kontemporer, yang menjadikan manusia sebagai pusat dan muara orientasinya, yaitu untuk memberikan solusi atas problem yang dihadapi masyarakat. Teologi sosial berpangkal pada pengalaman dan masalah manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi ini teologi sosial dapat disebut sebagai teologi kontekstual, karena keterlibatannya hadir dalam menjawab permasalahan- permasalahan sosial masyarakat Julianus Mojau dalam Harorld, 2017135. Dengan demikian, teologi sosial dalam teks Usana Bali adalah sebuah ajaran teologis atau ketuhanan yang bersifat kongkret dan solutif untuk menjawab permasalahan sosial masyarakat. Hal ini tersirat dalam lontar Usana Bali yakni dalam tindakan para bhatara yang turun langsung ke Bumi dari Indra Loka untuk melawan keangkaramurkaan raja Mayadanawa. Tindakan langsung ânyataâ ini merupakan sebuah praksis sosial yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari adharma. Di mana Tuhan melalui refresentasi Bhatara Indra mengajarkan manusia untuk menidak menolak dan melawan segala jenis kejahatan sosial dan membebaskan dirinya dari hal tersebut. Keangkuhan sebagai Akar dari Kejahatan Sosial Merasa diri lebih pintar, lebih kuat, lebih hebat, lebih benar hyper correct dari orang lain, akan segera melahirkan sikap jumawa, sombong dan angkuh. Hal inilah yang dialami oleh raja Mayadawa. Di mana raja Mayadanawa yang sakti, teguh dan tanpa lawan, mampu menaklukkan banyak kerajaan, sehingga kekuasaan beliau mencapai wilayah Sasak, Bugis, Sunantara, Madura, dan Blangbangan. Kondisi ini mengakibatkan raja Mayadanawa menjadi terlena dan mabuk kesombongan kasuran, sehingga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dengan demikian, rakyat dilarang untuk mempersembahkan yadnya kepada Tuhan para dewata, dan sebaliknya rakyat hanya diperkenankan untuk menyembah dirinya seorang. Keangkuhan raja Mayadawa telah menariknya ke dalam lubang kegelapan avidya. Dalam keadaan ini, raja Mayadanawa tidak lagi dapat membedakan MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 12 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 antara yang baik dan buruk, benar dan salah nirviveka, sehingga kebenaran hanya didasarkan pada kebenarannya sendiri bersifat solipsistik. Dalam kondisi seperti ini maka terjadilah perbuatan yang sewenang-wenang, dan keji yang dilakukan oleh raja Mayadanawa terhadap rakyatnya. Hal ini dijelaskan dalam sloka BhagavadgĂŽtâ kâmam âúritya duchpĂťraA dambha mâna madânvitâ%, mohâd g[ihĂŽtvâ sadrâhân pravartante suchivratâ%. Terjemahan âdengan menyerahkan diri kepada nafsu ketidakpuasaan, penuh kepura-puraan, kebanggaan dan kesombongan, memiliki pandangan salah karena ilusi, mereka berbuat hal-hal yang kejiâ Pendit, 1988318. Raja Mayadanawa telah mengkultuskan dirinya sebagai Tuhan, dan menganggap dirinya berkuasa penuh terhadap semua yang ada di muka bumi, sehingga rakyat tidak diperbolehkan untuk sembahyang ke pura parhyangan. Keadaan inilah yang menyebabkan banyak parhyangan menjadi rusak akibat terbengkalai. Pura atau parhyangan yang ada, selama ini bukan semata- mata hanya menjadi tempat sembahyang bagi masyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk menyatukan umat masyarakat. Dalam hal ini parhyangan berfungsi sebagai wadah sosial kemasyarakatan. Perilaku raja Mayadanawa yang hanya mengikuti keinginan dari hawa nafsu dan kesombongannya tindakan otoriterianisme telah menjadi akar dari kejahatan sosial, yang secara sistemik menyebabkan rakyat masyarakat menjadi sengsara. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, ketertindasan, dan ketidakadilan sosial merupakan dampak dari kejahatan sosial yang terjadi. Keadaan ini hampir mirip dengan yang dilukiskan dalam BhagavadgĂŽtâ asau mayâ hata% Ĺatrur hanichye cha parân api, ĂŽĂşvaro ham ahaA bhogĂŽ siddho haA balavân sukhĂŽ. Terjemahan âmusuh ini telah terbunuh olehku dan yang akan kubunuh pula, aku adalah Tuhan, aku adalah penikmat, aku adalah sempurna, berkuasa dan Bahagiaâ Pendit, 1988319. Lebih lanjut dinyatakan dalam BhagavadgĂŽtâ anekachitta vibhrântâ mohajâla samâv[itâ%, prasaktâh kâmabhogechu patanti narake Ĺuchau. Terjemahan âbingung oleh berbagai pikiran, terlibat dalam jaringan keonaran, terseret ke dalam kepuasan nafsu birahi, mereka jatuh ke dalam neraka kejahatanâ Pendit, 1988320. Berdasarkan kedua sloka tersebut, maka sangat jelas bahwa orang yang menganggap dirinya sebagai yang sempurna, paling berkuasa, dan bahagia, sejatinya pikirannya telah dibingungkan oleh ilusi kekacauan pikiran. Sigmund Freud dalam Suseno 200685 menyatakan bahwa kelakuan-kelakuan yang aneh, dan berlebihan sangat emosional yang tidak dapat dikendalikan merupakan sikap khas pengidap neurosis. Dalam hal ini yang dimaksud adalah suatu penyakit gangguan mental, yang telah menyebabkan orang bereaksi berlebihan terhadap sesuatu yang dihadapinya. Raja Mayadawa dapat disebut sebagai orang yang mengidap penyakit neurosis kelainan mental, karena bertindak berlebihan dengan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Di mana dalam lontar Usana Bali disebutkan bahwa pada pemerintahan raja Mayadanawa, parhyangan-parhyangan tempat suci pemujaan Tuhan tidak dihiraukan dan dibiarkan terlantar, bahkan Sang Mayadanawa melarang rakyatnya untuk sembahyang di parhyangan tersebut. Perilaku ini dapat dikatan sebagai âpenyakit neurosisâ yang bermuara dari keangkuhan ahamkara. Air sebagai Sumber Kehidupan Sosial Sebanyak tiga perempat bumi ini adalah berupa lautan air, sehingga tidaklah salah MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 13 apabila filsuf Thales sebagai pemikir pertama dari peradaban Yunani klasik, menyatakan bahwa esensi dari dunia ini arche adalah air. Hindu juga menempatkan air sebagai salah satu asas yang vital dalam dunia ini. Di mana air dalam kosmologi Hindu, merupakan bagian keempat dari lima macam zat pembentuk dunia ini panca mahabhuta, yang disebut sebagai apah. Dalam BhagavadgĂŽtâ VII. 4 disebutkan sebagai berikut bhĂťmir âpoânalo vâyuh kham mano buddhir eva ca, ahamkâra itiyam me bhinnâ prakrtir astadhâ. Terjemahan âtanah, air, api, udara, ether, akalbudi, pikiran, dan ego merupa-kan delapan unsur alam-Kuâ Pendit, 1988153. Berdasarkan uraian sloka tersebut, maka sangat jelas bahwa air menempati posisi yang sangat penting dalam penciptaan alam semesta, dan sekaligus menjaga keseimbangan alam ini. BhagavadgĂŽtâ mengungkapkan secara terbalik, dari unsur yang terkasar hingga yang terhalus ether, sehingga sesungguhnya air berada pada urutan yang keempat. Dalam agama Hindu, air juga dianggap sebagai sumber kesucian yang dapat membasuh segala noda kejahatan dan kesalahan. Hal tersebut diuraikan di dalam kitab suci Zgveda Om Idamâpa% pra vahata yatkiA ca duritaA mayi, yadvaham abhidudroha yadva Ăşepa utân[tam. Terjemahan âYa, Tuhan Yang Maha Kuasa, dosa apa pun yang terdapat pada diri kami, dan kejahatan apa pun yang telah kami lakukan demikian pula kebohongan dan kata-kata keliru yang telah kami ucapkan, semoga dengan air yang diberkahi ini menjauhkan kami dari segala kesalahan tersebut Titib, 1996688. Dengan penjelasan dari mantram tersebut, maka air menempati posisi yang utama dalam agama Hindu, baik sebagai unsur pencipta, pemelihara, dan sekaligus pelebur dari segala kekotoran mala. Sebagai unsur pencipta, air merupakan bagian dari panca mahabhuta apah; sebagai unsur pemelihara, air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk BhagavadgĂŽtâ, sedangkan sebagai unsur pelebur, air adalah pembersih segala kekotoran mala. Berhubungan dengan mitologi Tirta Empul toya empul dalam teks Usana Bali, dijelaskan bahwa raja Mayadanawa beserta patihnya Sang Kalawong, berupaya menciptakan sungai yang airnya beracun. Pasukan Bhatara Indra yang merasa kelelahan dan haus, meminum air beracun tersebut, dan seketika pasukan beliau banyak yang meninggal dunia. Menghadapi situasi tersebut, maka Bhatara Indra melakukan yoga dan mengerahkan kekuatan beliau untuk menciptakan penawar racun. Air sungai tersebut dipastu disucikan oleh beliau, dan kemudian airnya diminumkan kepada pasukan beliau. Hal yang ajaib terjadi, di mana pasukan beliau yang sudah meninggal dapat hidup kembali setelah minum air tersebut. Demikianlah air tersebut, kemudian dikenal dengan nama Tirta Empul. Dalam Kamus bahasa Bali dijelaskan bahwa kata kata tirta artinya air suci Gautama dan Ni Wayan Sariani, 2009679, dan kata empul artinya sembul, mancur Gautama dan Ni Wayan Sariani, 2009172. Dengan demikian, Tirta Empul dapat diartikan sebagai sumber air suci, yang mana sekarang tempat ini dikenal dengan Pura Tirta Empul. Kemampuan air sebagai sumber penyembuhan atau pengobatan yang digambarkan dalam teks Usana Bali, sangat sesuai dengan yang dijelaskan di dalam Veda, khususnya dalam kitab Zgveda špa id vâ u bhecajĂŽr âpo amivacâtani% âpa% sarvasya bhecajĂŽ%. Terjemahan âair adalah obat, Ia mengusir penyakit-penyakit. Ia menyembuhkan semua penyakitâ Titib, 1996564-565. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat jelas bahwa air merupakan MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 14 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 sumber dari kehidupan sosial masyarakat. Air dapat melepaskan manusia dari rasa haus dahaga, air dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memasak, mencuci, mandi dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dengan adanya sumber air yang baik, maka akan hidup suatu tatanan masyarakat atau peradaban yang makmur dan sejahtera. Kehidupan masyarakat Bali, yang umumnya bercorak agraris, juga tidak dapat terlepas dari kebutuhan air sebagai sumber irigasi untuk persawahan. Demikian pentingnya fungsi air bagi kehidupan, sehingga masyarakat juga harus bijak dalam memanfaatkan air. Di dalam teks Usana Bali disebutkan bahwa Mayadanawa yang sudah meninggal, darahnya kemudian mengalir dan menjadi aliran sungai yang dikenal dengan nama toya Patanu. Air sungai tersebut dikutuk oleh Bhatara Indra, bahwa apabila ada orang yang minum atau mandi di sungai tersebut niscaya akan terkena sakit kulit yang sukar diobati. Demikian halnya dengan persawahan yang diairi oleh air sungai tersebut, akan berbau busuk bagaikan bau bangkai dan hasil padinya tidak akan bisa dimakan. Hal ini sesungguhnya mengandung nilai kritik terhadap manusia agar mampu menjaga kebersihan air, agar tidak tercemar. Dalam mitologi ini, sengaja ditanamkan sebuah doktrin atau paham yang secara alami, melalui kesan psikologis yang dapat menggugah pikiran masyarakat akan arti pentingnya menjaga kemurnian dan kesucian air. Hari Raya Galungan sebagai Sarana Meningkatkan Kualitas Umat Hindu Semua agama di dunia memiliki hari- hari suci. Dengan demikian maka agama Hindu, juga memiliki hari suci yang dirayakan oleh umatnya. Di antara hari-hari suci umat Hindu tersebut, ada yang dirayakan secara biasa-biasa saja dan ada juga yang dirayakan secara istimewa. Hari suci yang dilaksanakan dengan istimewa disebut sebagai hari raya dan yang dirayakan secara biasa-biasa disebut rerahinan. Pelaksanaan hari raya dalam masyarakat Hindu khususnya Bali bertujuan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang memiliki makna historis, filosofis dan teologis. Perayaannya dirayakan secara berkelanjutan rutin dengan maksud untuk mengobarkan semangat kesucian serta makna penting yang terkandung pada hakikat hari suci agama tersebut. Umat Hindu diharapkan dapat menghayati, merenungkan dan melaksanakan dengan penuh kesadaran mengenai hakikat, semangat hidup dan kesucian yang terkandung pada hari-hari suci tersebut. Sehingga, dapat dijadikan sebagai pedoman untuk meningkatkan harkat dan martabat hidup umat menuju kesejahteraan lahiriah dan kebahagiaan batiniah seperti tujuan dari agama Hindu yaitu âmoksartam jagad hita ya ca iti dharmaâ. Dalam tradisi Hindu khususnya agama Hindu dalam masyarakat Bali, perayaan hari raya di bagi menjadi dua yakni yang berdasarkan sasih dan wuku. Sasih artinya bulan dan wuku adalah perhitungan wariga dari hasil pertemuan wuku dengan sapta wara dan panca wara, maka terselenggaralah rerahinan dan hari raya umat Hindu. Dalam setahun umat Hindu melaksanakan dua perayaan hari raya berdasarkan sasih, yakni hari raya Siwaratri dan hari raya Nyepi. Sedangkan hari raya menurut wuku cukup banyak, misalnya adalah hari raya Saraswati, Pagarwesi, Galungan, dan Kuningan. Hari raya Galungan merupakan salah satu dari hari raya yang disucikan oleh umat Hindu, yang secara historis, filosofis dan teologis berhubungan dengan cerita peperangan antara Bhatara Indra dan Mayadanawa. Hari raya ini dirayakan setiap MITOLOGI TIRTA EMPUL DALAM TEKS USANA BALI....I Gede Arya Juni Arta, 8-16 15 210 hari, yaitu pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan. Hari raya Galungan pada hakikatnya memiliki makna sebagai perayaan kemenangan dharma atas adharma. Dalam hal ini adalah kemenangan Bhatara Indra sebagai simbolisasi dharma dan raja Mayadawa sebagai simbolisasi adharma. Dalam hal inilah, umat Hindu diharapkan dapat menghayati, merenungkan dan melaksanakan dengan penuh kesadaran mengenai hakikat, semangat hidup dan kesucian yang terkandung pada hari suci tersebut. Donder dan Ketut Wisarja 2011216-217 menjelaskan bahwa konsep dan pelaksanaan yadnya korban suci yang dilakukan pada setiap hari raya, secara metodologis pedagogis dapat menjadi sarana yang sangat efektif dalam meningkatkan kualitas masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaan hari raya terdapat gagasan yang mengajarkan manusia untuk mencontoh perbuatan mulia yang dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pelaksanaan hari raya Galungan harus dijadikan sebagai momen bagi masyarakat khususnya umat Hindu untuk melakukan refleksi diri, guna meningkatkan kualitas hidup umat, dan bukan sebaliknya mendegradasi moralitas umat, lewat perayaan-perayaan yang dilakukan secara salah misalnya sebagai ajang judi, mabuk-mabukan, pesta pora. Perayaan kemenangan dharma bukan berarti dirayakan dengan pesta berlebihan atau mabuk-mabukan, tetapi sebaliknya dengan melakukan pengendalian diri. Donder dan Ketut Wisarja 2011250 menjelaskan bahwa untuk meraih kemenangan, maka manusia mesti harus berjuang untuk menghadapi segala tantangan atau ujian yang dihadapi dalam kehidupan ini. Senjata yang dipergunakan adalah pengendalian diri. Ekspresi kemenangan tersebut akan terwujud dalam perubahan tingkah laku yang semakin mulia atau semakin bijaksana. BhagavadgĂŽtâ menyebutkan bahwa orang yang mampu mengendalikan dirinya akan mencapai persatuan dengan Tuhan. VĂŽta râga bhaya krodhâ manmayâ mâm upâúritâ%, bahavo jòâna tapasâ pĂťtâ madbhâvam âgatâ%. Terjemahan âterbebas dari hawa nafsu, takut dan benci, bersatu dan berlindung pada-Ku, dibersihkan oleh kesucian budi-pekerti, banyak yang telah mencapai diri- Kuâ Pendit, 198895. Dalam lontar Usana Bali disebutkan bahwa pasukan Bhatara Indra yang sebelumnya meninggal kemudian dapat dihidupkan kembali dan penyerangan pun dilanjutkan. Patih raja Mayadanawa yang bernama Sang Kalawong terus dikejar oleh pasukan para dewa, hingga akhirnya Kalawong dapat dipenggal lehernya dan mati. Sang Mayadanawa pun pada kesempatan tersebut dapat dibunuh. Dengan demikian, perayaan hari raya Galungan memiliki nilai yang sangat penting bagi peningkatan kualitas umat Hindu, baik secara jasmani maupun rohani penyucian lahir dan batin. Di mana ketika seseorang telah mampu menundukkan hawa nafsunya adharma maka akan âhidup kembaliâ menang dalam suasana dharma suci lahir batin. III. KESIMPULAN Agama Hindu mengajarkan sebuah ajaran teologi pengetahuan tentang Tuhan, yang sekaligus mengantarkan umatnya untuk menuju tatanan kehidupan masyarakat sosial yang harmonis. Keselarasan antara aspek ketuhanan dan sosial ini disebut dengan ajaran Teologi Sosial, yang dalam agama Hindu bersumber dari kitab suci Veda. Dalam teks lontar Usana Bali Bhatara Indra dapat dikatakan sebagai praksis sosial yang membebaskan, karena Tuhan sendiri hadir di dunia untuk membela dan melindungi masyarakat untuk mengalahkan raja MAHA WIDYA BHUWANA VOLUME 5, MARET 2022 16 p-ISSN 2621-1025 e-ISSN 2654-4903 Mayadanawa sebagai simbol ketidakadilan sosial. Tirta Empul yang diciptakan oleh Bhatara Indra untuk menghidupkan perajuritnya yang terkena racun dari raja Mayadanawa, memiliki makna akan pentingnya air baik sebagai unsur penciptaan alam, pemelihara kehidupan dan pelebur mala atau penyakit. Sehingga, manusia harus bijak dalam mengelola air. Makna historis, filosofis dan teologis dalam cerita ini, dimaknai dalam perayaan hari raya Galungan oleh umat Hindu sebagai kemenangan dharma, yang berfungsi sebagai sarana peningkatan kualitas umat Hindu kesucian jasmani maupun rohani. DAFTAR PUSTAKA Donder, I K. Teologi Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya Paramita. Donder dan I Ketut Wisarja. 2011. Teologi Sosial Persoalan Agama dan Kemanusiaan Perspektif Hindu. Surabaya Pâramita. Gautama, W. Budha dan Ni Wayan Sariani. 2009. Kamus Bahasa Bali Bali- Indonesia. Surabaya Paramita. Harorld, Rudy. 2017. Peran âTeologi Sosialâ Gereja Protestan Indonesia Di Gorontalo GPIG Dalam Menanggapi Masalah Kemiskinan. Jurnal Jaffray. Vol. 15. No. 1 Lontar Usana Bali Pdf. Diakses dari http// Natalie. 2000. Evaluasi Kritis Terhadap Teologi Gereja Dari Teologi Pembebasan. Jurnal Veritas Pendit, Nyoman S. 1988. Bhagavadgita. Jakarta PT. Daya Fraza Press. Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta Kanisius. Titib, I Made. 2006. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya Pâramita. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Sabda Suci Pedoman Praktis KehidupanI TitibMadeTitib, I Made. 2006. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya Pâramita.
kitab usana bali berisi